Pages

Sunday, December 4, 2011

Pengobatan Pruritus

Pengobatan Pruritus

Pengobatan yang diberikan kepada penderita pruritus bergantung pada penyebabnya, apakah sistemik atau kutan. Prioritas pengobatan yang akan diberikan dapat dilihat disamping ini. Cooling lotion, seperti calamine lotion atau menthol 1%, dapat menjadi pengobatan awal yang digunakan. Di bawah ini saya akan menjelaskan obat oral dan obat topical yang dapat digunakan untuk mengatasi pruritus.1

Obat Antipruritus Oral:Penghambat Reseptor H1

Histamine diproduksi sebagai respon terhadap adanya reaksi alergi atau cedera pada jaringan. Histamine dihasilkan dari sel mast dan disimpan didalam granul sel mast, yang berperan pada area sistem vascular, otot halus, meningkatkan dilatasi pembuluh darah, dan peningkatan permeabilitas kapiler. Histamine dibentuk dari asam amino histidin oleh pengaruh enzim histidin dekarboksilase. Histamine berinteraksi dengan reseptor spesifik pada beberapa jaringan target. Histamine berperan untuk menghasilkan gatal melalui reseptor H1. Reseptor histamine dibagi menjadi 4, yakni reseptor H1, reseptor H2, reseptor H3, dan reseptor H4. Aktivasi reseptor H1 dapat menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, bronkokontriksi, dan sekresi mucus. Sebagian dari efek tersebut diperantarai oleh peningkatan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) di dalam sel. Sedangkan aktivasi reseptor H2 menyebabkan sekresi asam lambung, menurunkan kadar cGMP, dan meningkatkan denyut jantung. Lalu, reseptor H3 bekerja pada sistem saraf yang menyebabkan penghambatan saraf kolinergik dan nonkolinergik yang merangsang salurannapas.2,3 Sedangkan reseptor H4, berperan dalam gatal pada hewan percobaan tikus.1

Antihistamin Reseptor 1 (AH1)

Antihistamin dahulunya dikenal sebagi obat yang digunakan untuk memblok reseptor histamine sehingga akan menghambat efek dari histamine.4 Epinefrin merupakan antagonis pertama histamine yang digunakan. Antihistamin, misalnya antergan, neoantergan, difenhidramin, dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif dapat mengobati edema, eritema, dan pruritus tetapi tidak mampu melawan efek hipersekresi asam lambung akibat histamine. Antihistamin tersebut digolongkan dalam antihistamin 1 (AH1).3 Antihistamin merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin. Antihistamin dan histamin bersaingan untuk menempati reseptor yang sama. Blokade reseptor oleh antagonis H1 menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga menghambat dampak akibat histamin, misalnya kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi pembuluh darah.5

Seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, telah dibuktikan bahwa AH1 bukan hanya sebagai antagonis tetapi juga sebagai inverse agonist yang berperan untuk menghambat aktivitas reseptor H1, sedangkan antagonis H1 tidak berpengaruh terhadap aktivitas reseptor H1. Obat inverse agonist bila terikat dengan reseptor yang sama dengan agonisnya akan memberikan efek yang berlawanan karena memiliki aktivitas intrinsik tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan obat antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor dan menghentikan kaskade pada sisi yang tempati agonis.4,5

Reseptor H1 pada permukaan sel berikatan dengan protein G yang terdapat pada membran sel (cytosolic domain of cell membrane).1 Perubahan/peningkatan aktivitas reseptor H1 yang dipengaruhi molekul dari luar sel mengakibatkan perubahan/peningkatan aktivitas protein G. Perubahan/peningkatan aktivasi protein G menimbulkan transduksi signal ke beberapa target (efektor), sehingga mengakibatkan aktivasi NF-kB yang merupakan faktor transkripsi yang berperan pada terjadinya reaksi radang.4,5

AH1 digunakan pada terapi alergi, seperti utrikaria, pruritus, gigitan dan sengatan serangga, serta ruam akibat sensitivitas terhadap obat. Dahulu, AH1 dikelompokkan menjadi 6 grup, yakni ethanolamine, etilenediamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Namun, saat ini klasifikasi yang digunakan adalah berdasarkan fungsinya. Antihistamin dikelompokkan menjadi generasi pertama dan kedua. Obat-obat antihistamin generasi pertama, seperti Klorfeniramin, Alimemazin, dan Prometazin, memiliki efek antimuskarinik dan melewati sawar darah otak, sehingga biasanya menyebabkan rasa kantuk dan gangguan psikomotor. Namun, obat generasi kedua, seperti Loratadin, tidak mempunyai efek menyerupai atropine dan tidak menembus sawar darah otak, sehingga obat tersebut jarang menyebabkan kantuk.2,4,5

Demi peningkatan nilai pengobatan penyakit alergi, sampai saat ini masih diusahakan untuk menemukan antihistamin yang efektif dan tidak mempunyai efek samping, yang disebut sebagai neutral antagonist. Antagonis nertal tersebut diharapkan memiliki khasiat blockade reseptor H1 ditambah dengan beberapa khasiat lainnya. Pengobatan penyakit alergik dengan cara menghambat inflamasi diduga disebabkan oleh peningkatan aktivitas NF-kB. Beberapa antagonis H1 yang selama ini lebih dikenal untuk menghilangkan rasa gatal dapat digunakan sebagai antiinflamasi pada penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi. Sebagai contoh adalah penggunaan cetirizin pada penderita konjungtivitis dapat menyebabkan penurunan ekspresi ICAM-1 dan jumlah sel radang dibandingkan dengan kelompok yang diberi placebo.5

Farmakodinamik

AH1 bekerja sebagai inverse agonis histamine yang berikatan dengan reseptor H1 dan menstabilkan bentuk tidak aktif reseptor H1. AH1 bekerja dengan menghambat efek histamine pada pembuluh darah, bronkus, dan beberapa otot polos. Selain itu, AH1 juga berperan untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai dengan pelepasan histamine endogen yang berlebihan. Efek penggunaan AH1 antara lain:2,3

1. Efek sedatif

Efek umum dari AH1 generasi pertama adalah efek sedative yang cukup besar. Namun efek ini bergantung pada subkelompok obat dan pasiennya. Efek ini dapat digunakan sebagai alat bantu tidur dan penggunaanya tidak cocok pada siang hari. pada dosis biasa, kadang-kadang pada anak akan lebih menyebabkan eksitasi daripada sedasi. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan agitasi, kejang-kejang, bahkan koma. Sedangkan AH1 generasi kedua hanya mempunyai sedikit bahkan tidak memiliki efek sedative. AH1 generasi kedua juga memiliki efek otonom yang lebih sedikit daripada generasi pertama.2

2. Anti mual dan anti muntah

Beberapa AH1 memiliki aktivitas yang signifikan dalam mencegah motion sickness (mabuk kendaraan), tetapi kurang efektif jika sudah mengalami mabuk.2,3

3. Efek Antiparkinsonism

Beberapa AH1, terutama difenhidramin, memiliki efek yang signifikan untuk menekan efek akut pada gejala-gejala Parkinson.2,3

4. Kerja Antikolinoreseptor

Banyak dari AH1 generasi pertama, khususnya subkelompok etanolamin dan etilendiamin, secara signifikan memberikan efek menyerupai atropine yang bermakna pada reseptor muskarinik perifer.2

5. Lainnya:2,3

  • Pada otot polos, AH1 secara efektif mencegah bronkokontriksi yang disebabkan histamine.
  • Permeabilitas kapiler, peningkatan permebilitas kapiler dan edema yang disebabkan histamine dapat dihambat dengan oleh AH1.
  • Reaksi anafilaksis dan alergi, efektivitas AH1 akan melawan reaksi hipersensitivitas.
  • Menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamine.
  • Tidak dapat menghambat sekresi cairan lambung.
  • Merangsang dan menghambat SSP. Efek perangsangan dengan dosis normal yang terlihat adalah insomnia, gelisah, dan eksitasi. Efek perangsangan juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Sedangkan dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala, seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan, dan waktu reaksi yang lambat. Namun, saat ini ada beberapa AH1 yang bersifat non-sedatif berupa Terfenadin, Astemizol, dan Loratadin.

Farmakokinetik

Setelah pemberian secara oral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya akan timbul 15-30 menit setelah pemberian oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6 jam. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah di hati, tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal. Semua AH1 generasi pertama dan beberapa generasi kedua, seperti desloratadine dan loratadine, dimetabolisme di hati melalui sitokrom P450 (CP450). AH1 diekskresikan melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.3,5

Dosis dan Masa Kerja2

Obat

Dosis dewasa (mg)

Masa kerja (jam)

Aktivitas antikolinergik

Keterangan

ANTIHISTAMIN GENERASI PERTAMA

Ethanolamin

Carbinoxamin (listin)

4-8

3-4

+++

Sedasi ringan-menengah

Dymenhydrinate (garam)

Diphenydramine (dramamine)

50

4-6

+++

Sedasi lanjut; aktivitas anti motion sickness

Diphenhydramine (benadryl,dll)

25-50

4-6

+++

Sedasi lanjut; aktivitas anti motion sickness

Ethylamineddiamine

Pyrilamine (Neo-Antergen)

25-50

+

Sedasi menengah; komponen obat pembantu tidur

Pyrilamine (PB2,dll)

25-50

+

Sedasi menengah

Derivat Piperazine

Hydroxyzine (Atarak,dll)

15-100

6-24

Sedasi lanjut

Cyclizine (marezine)

25-50

-

Sedasi ringan; aktivitas anti motion sickness

Meclizine (bonine,dll)

25-50

12-24

-

Sedasi ringan; aktivitas anti motion sickness

Alkylamine

Bropheniramine (dimetane,dll)

4-8

4-6

+

Sedasi ringan

Chlorpheniramine (chlortrimeton,dll)

4-8

4-6

+++

Sedasi ringan; tersedia dalam komponen perawatan flu

Derivat phenothiazine

Promethazine (phenergen,dll)

10-25

4-6

+++

Sedasi lanjut; antiemetik

Lain-lain

Cyproheptadine (periactin,dll)

4

+

Sedasi menengah; juga mengandung aktivitas antiserotonin

ANTIHISTAMIN GENERASI KEDUA

Piperidine

Fexofenadine (allegra)

60

-

Resiko rendah dari aritmia

Lain-lain

Loratadine (claritin)

10

12

-

Aksi yang lebih lanjut

Catirizine (Zyrtec)

5-10

-

Efek Samping

Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam toleransi terhadap obat antar individu, kadang-kadang efek samping sangat mengganggu sehingga terapi perlu diberikan. Efek samping yang paling sering terjadi adalah sedasi. Selain itu, dapat dijumpai pula nafsu makan berkurang, mual, muntah, dan diare, hal ini dapat diatasi dengan pemberian AH1 sewaktu makan. Namun, penggunaan Astemizol (nonsedatif) selama lebih dari 2 minggu dilaporkan dapat menyebabkan bertambahnya nafsu makan dan berat badan. Selain itu, efek lain yang dapat ditimbulkan adalah gangguan psikomotorik dan gangguan kongnitif. AH1 generasi pertama, yakni difenhidramine, dapat menyebabkan gangguan kemampuan belajar, konsentrasi, atau keterampilan di tempat kerja.2,3

Obat Topikal Antipruritus

Kortikosteroid umumnya digunakan pada pruritus. Di bawah ini, merupakan beberapa obat topical yang merupakan antipruritus, yaitu:1

1. Barrier repair cream

Emollient dan barrier repair cream dapat mengurangi pruritus dengan cara meningkatkan fungsi barrier kulit. Krim tersebut membantu stratum korneum untuk mencegah keluarnya air dari dalam kulit. Barrier repair cream digunakan untuk gatal yang disertai dengan kulit kering dan atopic dermatitis, namun mekanisme efek antipruritusnya masih belum diketahui.1

2. Asam salisilat topikal

Asam salisilat topikal merupakan agen keratolitik dan dapat meningkatkan hidrasi pada kulit dan melembutkan stratum korneum dengan menurunkan pH kulit. Aspirin topical juga dapat digunakan untuk mengurangi rasa gatal pada penderita kronik liken simplex.1

3. Immunomodulator topical

Immunomodulator topical, seperti tacrolimus dan pimecrolimus, digunakan sebagai antipruritus pada atopic dermatitis dengan cara memberikan efek langsung pada serat saraf C. 1

4. Coolant and counter-irritans

Penggunaan krim mentol 1% sering ditemukan pada penderita pruritus. Penggunaan dengan konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan kulit teriritasi. Mentol dapat mengurangi rasa gatal dengan cara mengaktivasi serat saraf yang mentransmisikan sensasi dingin. Mentol dapat mengurangi gatal melalui reseptor TRPM 8 di keratinosit dan serat saraf. 1

5. Capsaicin

Capsaicin topical merupakan komponen aktif pada cabai, yang menyebabkan pelepasan neuropeptida, yaitu SP yang dihasilkan oleh serat saraf C. SP (substance P) merupakan neuropeptida yang terdistribusi di CNS dan saraf tepi, berperan dalam gatal. Mekanisme yang dilakukannya masih belum dimengerti, namun penggunaan capsaicin yang berkepanjangan akan menghilangkan SP sehingga menghilangkan gatal di tempat yang digunakan. Capsaicin mengaktivasi reseptor TRPV1 yang banyak terdapat di epidermal. 1

6. Topical Anesthetic

Sebagai contoh adalah pramoxine dan polidocanol. Pramoxine merupakan anestesi topical yang dapat mengurangi gatal, terutama bila digunakan di area wajah. Kerjanya adalah dengan memblok transmisi dari impuls saraf. Selain itu, pramoxine juga kerja histamine untuk mengurangi gatal pada manusia. Sedangkan, polidocanol merupakan non-ionic surfaktan dengan efek anestesi dan moisturizing. Pada sebuah studi disebutkan bahwa kombinasi penggunaan 3% polidocanol dan 5% urea dapat mengurangi gatal pada penderita dermatitis atopic, dermatitis kontak, dan psoriasis. 1

7. Topical Antihistamine

Yang termasuk topical antihistamin adalah doxepin. Penggunaan krim doxepin 5% telah dibuktikan mampu mengurangi gatal pada penderita dermatitis atopic. Namun, absorpsi doxepin pada perkutan dapat menimbulkan rasa kantuk. 1

8. Cannabinoid

Cannaboid topical yang dikombinasikan dengan barrier repair cream dapat memberikan efek antipruritus pada pasien dengan dermatitis atopic. 1

Antipruritus topical tidak boleh dikenakan pada luka terbuka atau sekitar mata dan daerah genital. Agen lain yang dapat digunakan sebagai antipruritus adalah:

  • Obat sistemik, seperti siproheptadin hidroklorida (Periactin)
  • Mandi dengan air yang diberi antipruritus, yaitu oatmeal atau Alpha-Keri.
  • Larutan kalium permanganate
  • Salep, krim, atau gel glukokortikoid

Rujukan

1. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Ed. 7th. USA: The McGraw-Hill Companies Inc. 2008. Pg. 909-911.

2. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Ed. 10th. USA: McGraw-Hill Companies Inc. 2006.

3. Ganiswarna SG (editor). Farmakologi dan Terapi. Ed. 4th. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI. 1995.

4. Simons FER. Drug Therapy: Advances in H1- Antihistamines. The New England Journal of Medicine. November 18, 2004. Pg. 2203-2214.

Diunduh dari: http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra033121 (8 November 2011)

5. Pohan SS. Mekanisme Antihistamin pada Pengobatan Penyakit Alergik: Blokade Reseptor-Penghambat Aktivasi Reseptor. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol: 57. April 4, 2007. Pg. 113-117.

Diunduh dari:

http://mki.idionline.org/index.php?uPage=mki.mki_dl&smod=mki&sp=public&key=MT

Aisyah

Peyakit Pre-Malignan Pada Kulit

Berikut ini adalah beberapa penyakit pre-malignan pada kulit:

1. Eritroplasia Queyrat

Eritroplasia Queyrat merupakan penyakit Bowen pada glans penis. Pada tahun 1993 penyakit ini diakui sebagai salah satu penyakit yang dapat berubah bentuk menjadi karsinoma sel skuamosa (KSS) in situ. Lesi EQ lambat meluas dan biasanya akan bertahan selama beberapa tahun. Perkembangan penyakit ini menjadi karsinoma invasive terjadi pada sekitar 10-33% kasus. Perkembangan menjadi karsinoma sel skuamosa (KSS) lebih sering terjadi pada eritroplasia Queyrat daripada bentuk lain dari penyakit Bowen kulit. Penyakit ini terutama terjadi pada glans penis, preputium, atau meatus uretra pada pria tua. Eritroplasia Queyrat paling sering terjadi pada laki-laki yang tidak disunat dengan onset usianya sekitar 20-80 tahun. Penyakit ini timbul dari epitel mukosa penis. Faktor risiko terjadinya penyakit ini adalah rendahnya tingkat kebersihan seseorang, skumulasi smegma, friksi, trauma, dan infeksi HSV.1,2

Penyebab penyakit eritroplasia Queyrat sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini diperkirakan dapat diakibatkan oleh co-infection dari HPV tipe 8 dan 16. Transformasi malignan mungkin terjadi pada lesi eritroplasia Queyrat, sehingga dapat mempengaruhi prognosisnya. Pada suatu studi menunjukkan bahwa 10% dari kasus eritroplasia Queyrat akan berkembang menjadi penyakit ganas. Selain itu, telah dilaporkan pula bahwa penyakit ini dapat bermetastasis ke kelenjar getah bening lokal.1

Gambaran klinis yang terjadi pada eritroplasia Queyrat adalah plak tunggal atau multiple dengan batas tegas, eritematosa, basah/lembap, dan seperti beludru. Biasanya pasien akan mengalami nyeri, gatal, terjadi perdarahan dan adanya krusta. Secara gambaran histopatogi, EQ mirip dengan Bowen disease. Gambarannya berupa parakeratosis, hyperkeratosis, dan akantosis. Pada epidermis, sel keratinosit terlihat pleomorfik dan hiperkromatik. Namun, pada EQ dapat dilihat hypoplasia epidermal dan banyaknya infiltrate dari sel plasma di dermis.1,2

Diagnosis banding EQ meliputi psoriasis, dermatitis seboroik, liken planus, liken sklerosus, Zoon balanitis, candidiasis, penile psoriasis, irritant balanitis, dan Paget’s disease. Untuk penegakkan diagnosis, biasanya dilakukan biopsy. Karena lesi eritema pada laki-laki (yang sudah tua) umumnya berbatas tidak tegas, maka ada beberapa faktor yang menyarankan agar dilakukannya biopsy, yakni: 1) jika lesinya tidak berpindah, 2) pasien tidak memiliki kelainan kulit pada glans penis, 3) partner sexual mengalami cervical dysplasia, dan 4) lesi tidak dapat membaik dengan terapi topical untuk balanitis, candidiasis, dan psoriasis. Selain itu, diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan jika partner sexual pasien mengalami pre-invasif dan invasive kanker serviks.1

Pencegahan yang dapat dilakukan adalah melakukan sirkumsisi. Pengobatan penyakit ini adalah dengan memberikan sediaan krim 5-fluorouracil 5% yang digunakan satu kali sehari. Pengobatan tersebut dilakukan selama 3-12 minggu. Selain itu, dapat digunakan pula krim imiquimod 5% yang digunakan satu kali sehari. Obat tersebut tidak memberikan respon antiinflamasi. Selain itu, terdapat pula obat oral yang diberikan, seperti obat kemoterapi. Jika bentuk lesinya sudah lebih agresif, maka diperlukan pembedahan, laser treatment, photodynamic therapy, dan radiation therapy.1,2

2. Leukoplakia

WHO mendefinisikan leukoplakia sebagai suatu bercak atau plak putih pada mukosa yang tidak dapat dihilangkan. Leukoplakia merupaka pre-kanker pada mukosa oral, yang berpotensi menjadi oral karsinoma sel skuamosa (OKSS). Secara klinis, oral leukoplakia (OL) mirip dengan oral eritroplakia (OE). Namun, OL lebih jarang bertransformasi menjadi ganas, dengan kemungkinan hanya 5%. Faktor yang berhubungan dengan penyakit ini adalah kebiasaan merokok dan hygiene gigi yang buruk. Hal ini dapat disebabkan karena adanya glositis atrofi sifilis, tapi bercak kecil putih berlendir dapat ditemukan dimanapun di dalam rongga mulut selama penderita berada di periode sifilis sekunder. Leukoplakia biasanya diderita orang dewasa dan kebanyakan lebih besar pada laki-laki daripada perempuan.3

Penyebab penyakit ini masih belum diketahui. Faktor yang memungkinkan terjadinya leukoplakia adalah penggunaan tembakau, konsumsi alcohol, dan candidiasis. Penggunaan tembakau dipercaya menjadi faktor risiko terbesar terhadap perkembangan OL karena dapat menyebabkan lesi putih pada mukosa oral. Sebagian kecil juga dapat disebabkan akibat suatu infeksi, seperti sifilis, dan HPV. Untuk mencegah penyakit ini adalah dengan mengkonsumsi makanan banyak serat, buah-buahan, dan sayuran.3

Gambaran klinis dari OL dibagi menjadi 2 tipe: OL homogen dan nonhomogen. OL homogen didefinisikan sebagai lesi datar berwarna putih. Lesinya seragam dengan adanya kerutan atau lipatan serta permukaan yang bergelombang. Sedangkan OL nonhomogen didefinisikan sebagai lesi datar putih atau putih kemerahan (eritroleukoplakia) yang irregular, disertai nodul, ulkus, dan verukosa. OL nonhomogen memiliki risiko transformasi malignan sekitar 4-5 kali lebih tinggi daripada OL homogen. Gambaran histopatologi dari OL adalah berupa dysplasia epitel, yakni lesi pre-kanker dari epitel berlapis gepeng dengan ciri adanya sel yang tidak normal dan hilangnya kemampuan maturasi. Selain itu, karsinoma in situ pada oral dideskripsikan dengan penebalan epitel skuamosa tanpa adanya invasi stroma. Diagnosis banding untk leukoplakia adalah karsinoma sel skuamosa, oral hairy leukoplakia, liken planus, keratosis, stromatitis nicotina, leukoedema, dan white sponge nevus.3

Pengobatan atau terapi yang diberikan dilihat dari adanya dan tingkatan dysplasia epitel. Jika tidak ada atau ditemukan dysplasia epitel yang ringan pada gambaran histopatologi, akan diberikan treatment jika lesinya luas. Namun, jika dysplasia epitel sedang atau berat, maka dianjurkan untuk mengilangkan semua lesi yang ada.3

3. Giant Congenital Nevus Pigmentosus

Giant congenital nevus pigmentosus dikenal juga sebagai congenital nevomelanocytic nevus (CNN). CNN merupakan lesi berpigmentasi pada kulit yang biasanya ada sejak lahir, dengan ukuran yang kecil hingga besar. CNN merupakan tumor jinak yang terdiri atas sel yang disebut dengan nevomelanocytes, yang merupakan derivate dari melanoblas. Semua CNN, tanpa melihat ukuran, memiliki kemungkinan bertransformasi menjadi melanoma malignan. Prevalensi dari CNN adalah 2,5% dari bayi yang baru lahir mengalami CNN berukuran kecil (< 1,5 -2 cm), 1/2000 kelahiran bayi mengalami CNN medium (1,5-20 cm), dan 1/20.000 kelahiran bayi mengalami giant CNN (>20 cm).4

Penyebab penyakit ini adalah multifaktorial. CNN dapat terjadi akibat kegagalan perkembangan dari derivate neural crest, yakni melanoblast. Defek ini mungkin terjadi pada usia janin 10 minggu. CNN pada bayi baru lahir terlihat seperti macula kecokelatan, yang semakin lama semakin menjadi gelap dan meninggi. Penyakit ini mengenai baik laki-laki maupun perempuan.4

Gambaran klinis dari CNN adalah adanya macula kecokelatan berbatas tegas disertai papul, plak, dan rambut terminal yang kasar. Bentuknya oval atau bulat dengan penyebaran diskret. Gambaran histopatologi dari CNN adalah adanya nevomelanosit di epidermis dan di dermis seperti lembaran atau sarang. Pada giant CNN mungkin akan ditemukan penyebaran nevus hingga otot atau tulang.4

CNN memang ada sejak lahir, tetapi variasinya berkembang pada saat bayi. Risiko terjadinya perkembangan menjadi melanoma pada CNN berukuran kecil adalah 5% dan pada giant CNN adalah 6,3%. Giant CNN pada kepala dan leher mungkin, akan berhubungan dengan adanya leptomeninges, yang menimbulkan kejang, focal neurologic defects, dan hidrosefalus. Selain itu, giant CNN yang berada diatas kolumna vertebral dapat berhubungan dengan adanya spina bifida atau meningomyelocele.4

Pengobatan pada CNN ditentukan dari prognosisnya. Pada CNN kecil dan jinak (<1,5 cm), maka dapat dimonitoring hingga dewasa dan kemudian dapat dilakukan eksisi dengan anestesi local. Selain itu, perlu diperhatikan tanda-tanda dari transformasi malignan, yakni perubahan bentuk, irregular border, perubahan warna, dan symptom (seperti gatal, nyeri, atau mudah perdarahan). Giant CNN dapat menjadi ganas sebelum pubertas. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran lesi secara klinis. Pada giant CNN di kepala atau leher, maka diperlukan evaluasi neurologic. Dengan MRI dengan kontras, dapat ditunjukkan jika adanya peningkatan tekanan intracranial.4

4. Liken Sklerosus et Atrofikus

Liken Sklerosus (LS) adalah dermatosis inflamasi yang kronis dan idiopatik dengan adanya atrofi, yang menimbulkan rasa gatal yang hebat. LS dapat bermanifestasi sebagai kelainan ekstragenital yang secara umum tidak pruritik. Beberapa faktor yang berhubungan dengan penyakit ini adalah trauma dan abnormalitas anatomi. Tempat-tempat predileksinya adalah di sekitar daerah genitalia. LS lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki, yakni dengan rasio prevalensi 5:1.1,3

Etiologi dan Patogenesis

Liken sklerosus et atrofikus (LS) merupakan suatu kelainan yang masih belum diketahui penyebabnya. Selain itu, tidak ditemukan pula predisposisi genetik pada penyakit ini. Ada pendapat yang menyatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh suatu infeksi, seperti spirochetes atau Borrelia, tetapi hal ini masih belum dapat dibuktikan. Pada bukti pemeriksaan serologi dan klinis, didapatkan bahwa penyakit tiroid, alopecia areata, pernicious anemia, dan vitiligo memiliki hubungan dengan LS. LS ektagenital umumnya berhubungan dengan plak bertipe mophea.3

Gambaran Klinis

Umumnya pada penderita penyakit ini akan ditemui papul polygonal, plak putih yang disertai dengan atrofi kulit, fisura, telangektasia, purpura, eritema, dan erosi di area anogenital. Pada pria, biasanya yang menderita penyakit ini akan mengeluhkan rasa gatal, terasa panas, perdarahan, adanya blister, dan ketidaknyamanan saat membuang air kecil. Ukuran dari lesi LS pun bervariasi. Anogenital LS dapat menyebabkan dyspareunia, dysuria, dan ketidaknyamanan saat defekasi.3

Gambaran Histopatologi

Pada LS dapat kita temukan atrofi epidermis dan adanya infiltrate lichenoid pada dermal-epidermal junction. Selain itu, pada awal terjadinya LS maka dapat ditemukan edema pada papilla dermis yang kemudian digantikan dengan fibrosis. Selain itu, terdapat pula infiltrate limfosit, seperti sel limfosit T dan sel B. Adanya hyperplasia atau dysplasia epidermal akan menunjukkan peningkatan risiko terhadap transformasi malignan.3

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah terjadinya stenosis vulvo-vaginal. Selain itu, dapat pula berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa. Faktor risiko yang dapat menyebabkanhal tersebut adalah usia, lamanya menderita LS, adanya infeksi HPV, dan terjadinya hiperplasia. Anak perempuan prapubertas jika mengalami liken sklerosus biasanya akan disertai dengan disuria dan nyeri pada saat defekasi. Prognosis penyakit pada anak-anak adalah baik, dan sebagian besar dapat sembuh saat memasuki masa pubertas. Liken sklerosus juga dapat diderita laki-laki. Jika liken sklerosus terjadi di glans penis dan prepusium (disebut sebagai balanitis serotika obliterans), maka dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya fimosis dan stenosis meatus. Oleh karena itu, untuk menghilangkan fimosis yang mungkin terjadi, maka dilakukanlah sirkumsisi pada anak laki-laki.3

Diagnosis Banding dan Pengobatan

Untuk menegakkan diagnosis LS, biasanya dapat digunakan punch biopsy atau uji ELISA. Diagnosis bandingnya adalah dengan balanitis plasmacelularis, child abuse, dermatitis kontak, genital hygiene, liken planus, liken simpleks kronik, dan vitiligo.1,3

Penyakit ini jika menyerang orang dewasa biasanya bersifat kronis dan dapat terjadi kekambuhan. Pada daerah vulva, biasanya dapat diberikan kortikosteroid topical, seperti clobetasol, yang sangat poten sehingga dapat mengurangi keluhan pada pasien. Para pasien pun harus selalu di bawah pengawasan karena untuk menghindari risiko terjadinya perubahan menjadi neoplastik. Selain itu, jika sistemik maka dapat diberikan retinoid, seperti isotretionin, etretinate, serta acitretin dan tacrolimus oral.3

Rujukan:

1. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Disease of The Skin: Clinical Dermatology. Ed. 10th. Canada: Saunders Elsevier. 2006.

2. Egan KM. Erythroplasia of Queyrat (Bowen Disease of Glans Penis). Medscape Reference. October 2011. Available on:

http://emedicine.medscape.com/article/1100317-overview#showall (23 Nov. 2011)

3. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Ed. 7th. USA: The McGraw-Hill Companies Inc. 2008.

4. Kane KSM, Ryder JB, Baden HP, Stratigos A. Color Atlas & Synopsis of Pediatric Dermatology. USA: McGraw-Hill Companies. 2002. Pg: 151-153.

Aisyah